TEORI – TEORI DAKWAH

0957

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang Masalah

Kemapanan sebuah disiplin ilmu ditandai dengan teori-teori yang dimilikinya, sama halnya dengan ilmu dakwah, tanpa teori dakwah, maka apa yang disebut ilmu dakwah tidak lebih dari sekadar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisis atas fakta dakwah atau sebaliknya hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah yang tidak akan bisa dijelaskan hubungan kaualitasnya antar fakta dapat memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks. Teori dakwah menjadi substansi ilmu dakwah sebab isi suatu ilmu itu adalah tentang teori tentang objek kajiannya.

Secara akademik dengan adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisis dan klasifikasi fakta dakwah, memahami  antar variabel dakwah, mejelaskan fakta dakwah (eksplanasi), menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring dengan perubahan sosial dimasa depan, serta menghubungkan pengetahuan masa lalu, masa kini dan yang akan datang. Ketika mampu mengeksplanasi gejala. Dengan adanya teori-teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan dakwah masa lalu dapat diuji kembali relevansi teori dengan fakta dakwah yang ada pada saat sekarang, dan masa depan. Apa yang menyebabkan tidak berhasilnya dakwah masa lalu, maka akan mampu membuat kontrol dengan upaya-upaya antisipatif.

Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan teori dakwah ?
  2. Bagaimana konteks teori dakwah berdasarkan objek dakwah ?
  3. Apa saja ragam teori dakwah ?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Teori Dakwah

Teori yaitu bagian , definisi , dalil yang saling berkaitan dengan menentukan hubungan antar variabel yang berkaitan.

Dakwah dari bahasa arab yang berarti yaitu da’a – yad’u – da’watan yang secara etimologinya memiliki makna seruan atau memanggil. Sedangkan menurut terminologi adalah sebuah usaha baik perkataan maupun perbuatan yang mengajak manusia untuk menerima islam, mengamalkan dan berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya , menyakini aqidahnya serta berhukum dengan syariatnya.

Disimpulkan bahwa Teori Dakwah adalah Serangkain variabel sistematis dan saling berhubungan yang didalamya menjelaskan suatu usaha baik perkataan atau perbuatan yang mengajak manusia  untuk menerima islam, mengamalkan dan berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya, menyakini aqidahnya serta berhukum dengan syari’at-Nya.

  1. Konteks dakwah berdasarkan objek

Konteks Dakwah berdasarkan objek ada beberapa macam, diantaranya :

  • Dakwah Nafsiyah

Ialah dakwah kepada diri sendiri sebagai upaya untuk memperbaiki diri atau membangun kualitas dan kepribadian diri yang islami. . Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah proses perubahan pada dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya tetap berada dijalan yang diridha Allah. Tujuan dari dakwah nafsiyah adalah mewujudkan pribadi seseorang senantiasa menjadi hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dan keimanan dan ketaqwannya itu diaktualisasikan dalam segenap aspek kehidupannya. Dalam pandangan Islam, manusia baik sebagai pribadi (dirinya sendiri) maupun sosial adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi.

Dengan demikian, dalam dakwah nafsiyah ini, bagaimana cara (metode) manusia (sebagai dirinya sendiri) untuk mengoptimalkan potensi jasmani dan ruhaninya tersebut secara baik dan konsisten dalam rangka meraih kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat.

  • Dakwah Fardhiyah

Dakwah Fardiyah, proses ajakan atau seruan kepada jalan Allah yang dilakukan oleh seorang da’I kepada perorangan (interpersonal) yang dilakukan secara langsung tatap muka atau tidak tatap muka yang bertujuan untuk membuat mad’u lebih baik dan diridhai Allah. [1]

Perubahan dan perpindahan tersebut adakalanya dari kekafiran kepada keimanan, dari kesesatan dan kemaksiatan kepada petunjuk dan ketaatan, dari sikap amaniyah (individualisme) kepada sikap mencintai orang lain, mencintai amal jama’I atau kerja sama, dan senang kepada jamaah. Atau adakalanya memindahkannya dari sikap acuh tak acuh dan tidak peduli menjadi sikap komitmen terhadap islam, baik akhlaknya, adabnya, dan manhaj (system) kehidupannya, yang sudah tentu perpindahan ini menuju arah yang lebih baik dan lebih diridhoi Allah SWT. Menurut hemat penulis dakwah fardiyah inilah salah satu metode dakwah yang paling efektif, karena dakwah dilakukan seorang da’I (penyeru) kepada orang lain secara perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’u pada keadaan yang lebih baik dan diridhai oleh Allah. Sehingga seorang mad’u dapat memperoleh informasi (ilmu) yang banyak dan langsung bisa mengamalkannya.

  • Dakwah fi’ah qolillah

Dakwah fiah qolillah atau disebut juga dengan dakwah kelompok dapat diidentikkan dengan komunikasi kelompok. Komunikasi kelompok adalah subdisiplin dari komunikasi lisan. Titik berat perhatian komunikasi kelompok adalah pada kelompok kecil yaitu pada gejala-gejala komunikasi di dalam kelompok-kelompok kecil.Maka, dakwah fiah (dakwah kelompok) dapat berbentuk dakwah halaqah yaitu dakwah yang dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok kecil tersebut dapat diaktifkan secara rutin dengan jadwal dan materi yang tersusun rapi. Seorang da’i harus memberi motivasi supaya terjadinya diskusi kelompok yang menyangkut pemahaman, kesadaran dan pengalaman ibadah para anggota kelompok dakwah tersebut. Pada hakekatnya, dakwah fiah dapat mengembangkan diri menjadi beberapa kelompok dakwah yang lain dengan cara setiap anggota dakwah fiah merangkul mad’u yang lain untuk bergabung dalam kelompok dakwah. Dakwah fiah dapat dilakukan di rumah para anggota kelompok atau di mesjid-mesjid. Dakwah fiah dapat terdiri dari anggota perempuan dan dapat juga terdiri dai anggota laki-laki. Kelebihan dari dakwah fiah ini bagi setiap anggota, terutama bagi anggota kelompok perempuan, adalah dakwah fiah bisa menjadi sarana yang dapat mengembangkan kemampuan para anggota melalui diskusi pendalalman materi agama, melatih kecakapan diskusi dan melatih berbicara secara sistematis. Dengan demikian diharapkan setiap anggota mampu berdakwah dalam kelompok-kelompok lain yang lebih besar.

  • Dakwah Hizbiyah

Dakwah hizbiyah (jamaah), yang dilakukan oleh dai yang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu lembaga atau organisasi dakwah tertentu kemudian mendakwahi anggotanya atau orang lain di luar anggota tersebut. Dakwah jam’iyah bisa juga disebut dengan dakwah jamaah yaitu gerakan dakwah yang berbasiskan komunitas atau satuan unit masyarakat untuk menata dan mewujudkan alam kehidupan yang lebih baik sesuai dengan perintah dan sunah-Nya. Dengan demikian dakwah jam’iyah dapat dikatakan sebagai dakwah yang berbentuk organisasi atau pergerakan.

  • Dakwah Ummah

Dakwah Ummah, proses dakwah yang dilaksanakan pada mad’u yang bersifat massa (masyarakat umum).

  • Dakwah Syu’ubiyah dan Qabailiyah

Dakwah syu’ubiyah Qabailiyah (antar suku bangsa), proses dakwah yang berlangsung dalam konteks antar bangsa, suku atau antar budaya.
Untuk memahami dakwah syu’ubiyah dan Qabailiyah atau disebut juga dengan dakwah lintas budaya, kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan komunikasi lintas budaya, karena dakwah syu’ubiyah dan Qabailiyah diindentikkan dengan komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya bisa juga disebut komunikasi antar budaya yaitu komunikasi yang terjadi antar orang-orang yang berbeda budaya. Artinya communicator dan comunican berasal dari budaya yang berbeda. Dalam proses komunikasi antar budaya tersebut terlibat peranan dan fungsi budaya. Budaya sangat mempengaruhi orang-orang yang sedang berkomunikasi. Berpijak pada pemikiran tersebut, dalam proses dakwah lintas budaya, seorang da’i harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya. Ketika berdakwah, da’i harus mengetahui terlebih dahulu calon mad’unya berasal dari budaya apa. Oleh karena itu, da’i harus mempelajari ilmu antropologi sehingga da’i lebih mudah menghadapi mad’unya yang datang dari berbagai latar belakang budaya yang maksimum dan perbedaan budaya yang minimum antara budaya yang satu dengan budaya yang lain bahkan antar sub-sub budaya. Kita dapat mengambil contoh perbedaan budaya yang sangat mencolok seperti perbedaan maksimum antara budaya Barat dan Budaya Timur, khususnya Asia, seperti penampakan fisik, agama, filsafat, sikap-sikap social, bahasa, pusaka, konsep-konsep dasar tentang diri dan alam semesta dan derajat perkembangan teknologi.

Sementara itu, perbedaan minimum dapat dilihat pada budaya Indonesia dan Malaysia. Perbedaan kedua budaya ini sangat sedikit. Dari segi fisik serupa, bahasa serupa, filsafat dan agama serupa dan lain hampir serupa.

  1. Ragam Teori Dakwah

Dalam pengembangan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Dengan ditemukannya teori – teori dakwah yang telah menyebabkan keberhasilan dakwah masa lalu( dengan penelitian reflektif- penafsiran maudhu’i ) dapat di uji kembali relevensi teori dengan fakta dakwah yang ada pada saat sekarang (dengan metode riset dakwah partisipatif) dan kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan (dengan metode riset kecenderungan gerakan dakwah)

  1. Teori Citra Da’i

Makna dakwah tidak hanya sekedar menyeru atau mengajak manusia, tetapi juga mengubah manusia sebagai pribadi maupun kelompok agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Dalam rangka menegakkan dakwah sehingga ajaran Islam diketahui, dipahami,dihayati dan dilaksanakan oleh umat diperlukan juru dakwah yang berkualitas. Juru dakwah tersebut adalah orang yang mengerti hakikat islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keberhasilan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kualitas dan kepribadian seorang da’i. Dengan kualitas dan kepribadian tersebut seorang da’I akan mendapatkan kepercayaan dan citra yang positif di mata mad’u baik individu atau masyarakat.

Citra yang berhubungan dengan seorang da’I dalam perspektif komunikasi sangat erat kaitanya dengan kredibilitas yang dimilikinya. Kredibilitas sangat menentukan citra seseorang. Teori citra da’I menjelaskan penilaian mad’u terhadap kredibilitas da’I apakah da’I mendapat penilaian positif atau negatif, dimata mad’unya. Persepsi mad’u baik positif maupun negatif sangat berkaitan erat dengan penentuan penerimaan informasi atau pesan yang disampaikan da’i. Semakin tinggi kredibilitas da’I maka semakin mudah mad’u menerima pesan-pesan yang disampaikannya, begitu juga sebaliknya.

Kredibilitas seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, tidak secara instan, tetapi harus dicapai melalui usaha yang terus menerus, harus dibina dan dipupuk, serta konsisten sepanjang hidup.

Dakwah dalam salah satu bentuknya melalui lisan, ada empat cara seorang da’I dinilai oleh mad’unya :

Seorang da’I dinilai dari reputasi yang mendahuluinya, apa yang sudah seorang da’I lakukan dan memberikan karya-karya, jasa dan sikap akan memperbaiki atau menghancurkan reputasi seorang da’i.

Mad’u menilai da’I melalui informasi atau pesan-pesan yang disampakan seorang da’i. Cara memperkenalkan diri seorang da’I juga berpengaruh dengan pandangan kredibilitas seorang da’I oleh mad’u.

Ungkapan kata-kata yang kotor, tidak berarti atau rendah menunjukan kualifikasi seseorang. Cara penyampain pesan dari da’I kepada mad’u sangat penting untuk pemahaman pesan yang ditangkap mad’u, sebab apabila cara penyampaiannya tidak sistematis maka akan kurang efektif di mata mad’u. Penguasaan materi dan metodologi juga kemestian yang harus dimiliki seorang da’i.

Dari cara-cara diatas menyimpulkan bahwa seorang da’I harus sikap yang baik agar menjadi suri tauladan bagi mad’unya, bahkan dari cara memperkenalkan dirinyapun dinilai, bertutur kata yang baik, menyampaikan pesan dengan sistematis, efektif dan memiliki penguasaan materi, seperti dalam firman Allah surat At-Taubah : 122 :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” ( Q.S. Al-Taubah : 122)

Kredibilitas juga erat kaitannya dengan kharisma, walau demikian kredibilitas dapat ditingkatkan sampai batas optimal. Seorang da’I yang berkredibilitas tinggi adalah seseorang yang mmepunyai kopetensi di bidangnya, integritas kepribadian, ketulusan jiwa, serta mempunyai status yang cukup walau tidak harus tinggi. Apa kredibilitas ini dimiliki seorang da’I, maka da’I tersebut akan memiliki citra positif dihadapan mad’unya.

Dalam rangka mengoptimalkan kredibilitas dan membangun citra positif seorang da’I perlu melingkupi tiga dimensi diantaranya yaitu :

  1. a) Kebersihan batin
  2. b) Kecerdasan mental
  3. c) Keberanian mental

Rasulullah Muhammad SAW sosok figur da’I yang paling ideal, Beliau memiliki ketiga kriterian di atas. Sehingga beliau memiliki citra positif di masyarakat. Beliau selalu memberikan solusi yang adil ketika terjadi perselisihan. Ketika diangkat menjadi Rasul beliau menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek seperti aqidah, ibadah, muamalah dan akhlaq, terpancar kesejatian, menjadi figur nyata bagi masyarakatnya, dan segala kesempuranaan yang dimilikinya, beliau mampu menjadi pemimpin agama sekaligus negara. Kurang dari 23 tahun beliau mampu melakukan perubahan dari kejahiliahan kepada peradaban dunia yang timggi.

  1. Teori Medan Dakwah

Teori medan dakwah adalah teori yang menjelaskan situasi teologis, kultural dan struktural mad’u saat pelaksanaan dakwah islam. Dakwah islam adalah sebuah ikhtiar Muslim dalam mewujudkan islam dalam kehidupan pribadi , keluarga, komunitas, dan masyarakat dalam semua segi kehidupan sampai terwujudnya masyarakat yang terbaik atau dapat disebut sebagai khairul ummah yaitu tata sosial yang mayoritas masyarakatnya beriman, sepakat menjalan dan menegakkan yang ma’ruf dan secara berjamaa’ah mencegah yang munkar.

Setiap Nabiullah daalam melaksanakan dakwah selalu menjumpai system dan struktur masyarakat yang di dalamnya sudah ada al-mala yaitu penguasa masyarakat, al-mutrafin yaitu penguasa ekonomi masyarakat konglomerat dan kaum al-mustad’afin yaitu masyarakat yang umumnya tertindas atau di lemahkan hak-haknya.

Keinginan subjektif manusia atau disebut dengan nafsu yang menentukan semua orientasi hidup biasanya dominan oleh keinginan subjektif al-malanya. Secara Sunnatullah kekuasaan dalam masyarakat akan didominasi oleh seseorang atau sekelompok orang yang dipandang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu menurut masyarakat yang bersangkutan sampai membentuk kepemimpinan masyarakat yang sah. Kekuatan dan kepemimpinan masyarakat akan mudah goyah jika tidak memperoleh dukungan kaum aghniya yang mengendalikan roda perekonomian masyarakat. Pola kerja sama antara kaum al-mala dan al-mutrafin melahirkan kaum al-mustad’afin yang mereka adalah kaum yang serba kekurangan yang direkayasa untuk tetap lemah. Dari struktur sosial di atas ketika merespon dakwah para Nabiullah memiliki kecenderungan bahwa kaum al-mala dan al-mutrafin selalu menolak dakwah islam.

Respon positif dalam dakwah islam biasanya diperoleh dari kaum al-musthad’afin. Hal tersebut disebabkan oleh posisi mereka yang dilemahkan hak-haknya dan kejernihan hatinya yang sedikit berpeluang melakukan kejahatan secara sengaja telah menyebabkan hati mereka mudah menerima dakwah islam.

Dalam menghadapi segala bentuk struktur masyarakat seperti kaum al-mala, al-mutrafin, dan al-mustad’afin dalam medan dakwah seorang da’I perlu menerapkan etika-etika sebagia berikut:

  • Ilmu

Hendaknya memiliki pengetahuan amar ma’ruf nahi munkar dan perbedaan diantara keduanya. Yaitu memiliki pengeetahuan tentang orang-orang yang menjadi sasaran perintah (amar) meupun orang-orang yang menjadi objek cegah (nahi). Alangkah indahnya apabila amar ma’ruf dan nahi mungkar didasari dengan ilmu semacam ini, yang dengannya akan menunjukkan orang ke jalan yang lurus dan dapat mengantarkan mereka kepada tujuan.

  • Rifq (lemah lembut)

Hendaklah memiliki jiwa rifq, sebagaimana sabda Rasulullah Saw

“Tidaklah ada kelemah lembutan dalam sesuatu kecuali menghiyasinya dan tidaklah ada kekerasan dalam sesuatu kecuali memburukannya” (HR. Muslim)

  • Sabar

Hendaklah bersabar dan menahan diri dari segala perlakuan buruk. Karena tabiat jalan dakwah memang demikian. Apabial seorang da’I tidak memiliki kesabaran dan menahan diri, ia akan lebih banyak merusak dari pada memperbaiki. Sebagaimana firman Allah SWT :

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْه عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُو رِ

Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (Q.S.Luqman:17) .

Dari itu Allah swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya, yang mereka adalah penghulu para da’I dan pelopor amar ma’ruf nahi mungkar, untuk senantiasa bersabar.

  1. Teori Proses dan Tahapan Dakwah

Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas ummatan khairan.

  • Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)

Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i. Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.

  • Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)

Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.

Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.

  • Tahap Pelepasan dan Kemandirian.

Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.

  • Teori Analisa Sistem Dakwah.

Penulis secara khusus meneliti dakwah islam dengan pendekatan teori sistem umum (The general system theory) yang hasilnya antara lain menyatakan :

  1. Dakwah Islam adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem yang saling berhubungan,bergantung dan berinteraksi dalam mencapai tujuan dakwah.
  1. Dakwah Nabi Muhammad SAW berjalan menurut alur sistem dakwah yang diarahkan Allah SWT yang menjadi sunnah Allah yang berlaku dalam dakwah islam yang bersifat tetap,obyetktif dan universal.
  2. Dakwah islam sebagai suatu sistem memiliki masukan utama(raw input) berupa materi pokok dakwah dari wahyu allah(al qur’an) dan assunnah ketika dikonversikan menjadi keluaran baik dalam dataran pribadi,keluarga,kelompok,masyarakat dan negara telah menimbulkan kemelut dan goncangan sosial yang besar ditengah tata sosial,budaya dan peradapan yang telah mapan di tengah masyarakat.
  3. Momentum berkembangnya dakwah islam adalah karena adanya keluaran berupa negara yang menjadikan syari’ah sebagai otoritas tertinggi dalam menilai dan mengatur kehidupan masyarakat dan negara.

BAB III

KESIMPULAN

Teori Dakwah adalah Serangkain variabel sistematis dan saling berhubungan yang didalamya menjelaskan suatu usaha baik perkataan atau perbuatan yang mengajak manusia  untuk menerima islam, mengamalkan dan berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya, menyakini aqidahnya serta berhukum dengan syari’at-Nya.

Konteks Dakwah berdasarkan Objek Dakwahnya antara lain : Dakwah Nafsiyah, Dakwah Fardhiyah,Dakwah Hizbiyah, Dakwah Ummah, Dakwah Fiah Qalilah, Dakwah Su’ubiyah dan Qabailiyah.

Ragam teori Dakwah meliputi : Teori citra da’I, Teori Medan Dakwah, Teori Proses dan tahapan dakwah. Hal itu sangat berkaitan karena menunjang proses penyampaian dakwah.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Mahmud, Ali Abdul Halim.1995.Dakwah Fardhiyah.Jakarta: Gema Insani Press

Prof. Dr. Arifin, Anwar.2011.Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi.Yogyakarta : Graha Ilmu.

http://kumpulan-segalailmu.blogspot.co.id/2013/07/pola-dakwah-berdasarkan-objek.html(di akses pada tanggal 28 oktober 2016 pkl 13.00 WIB)

[1] Prof. Dr. Mahmud Ali Abdul Halim, Dakwah Fardhiyah, (Jakarta : Gema Insani Press 1995) hlm 27-29

Tentang finnalanahdiyanna

Menjadi jurnalis adalah suatu impianku sejak balita yang kini sedang ku rangkai menjadi realita
Pos ini dipublikasikan di makalah. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar